Sabtu, 09 Maret 2013

OGB


Peran PMR Memberikan OGB Kepada Warga Sekolah Yang Sakit, Sebagai Bentuk Belajar Menjadi Peer Educator

Palang Merah Remaja sebagai suatu kelompok belajar selain salah satu ekstrakurikuler di setiap sekolah biasanya diberdayakan oleh pihak sekolah menjadi pengurus Usaha Kesehatan Sekolah (UKS) karena perannya yang sama yaitu menolong, melayani warga sekolah yang sakit dengan atas dasar kemanusiaan. PMI mendelegasikan para Fasilitator ke setiap sekolah untuk memfasilitasi, membimbing anggota PMR agar dapat melaksanakan kegiatan belajar Kepalangmerahan sesuai kurikulum tujuh materi dasar yang diberikan PMI salah satunya adalah Perawatan Keluarga (PK) yang sekarang telah berganti menjadi Remaja Sehat Peduli Sesama (RSPS). Sebagai tujuan akhir PMI bermaksud dari anggota PMR ini menjadi Peer Educator yang tugasnya memberikan penyuluhan atau memperkenalkan cara hidup remaja yang sehat kepada sesama siswa di sekolah khususnya, dan kepada warga sekolah umumnya.

Sekolah dalam menunjang sarana siswa untuk mengembangkan bakat di bidang Kepalangmerahan yang tergabung di ekstrakurikuler PMR, memberikan fasilitas sekretariat dan biasanya pula bergabung dengan UKS menjadikannya saling sinkron dalam melaksanakan tugas dan perannya. Keberadaan UKS setidaknya dilengkapi dengan berbagai macam perlengkapan, peralatan dan obat-obatan. Dalam hal ini obat-obatan menjadi hal yang terpenting, percuma saja bila ada UKS di suatu sekolah tanpa ada suplai obat-obatan, ini sudah menjadi tanggung jawab pihak sekolah terhadap kepedulian kepada warga sekolah yang membutuhkan karena berada di lingkungan sekolah. Setidaknya sekolah mempunyai peralatan P3K sederhana dan obat-obat generik yang harganya lebih murah, terjangkau namun mempunyai khasiat yang sama. Dan biasanya obat-obatan yang dipakai adalah obat-obat dasar dan bersifat umum seperti obat untuk penahan nyeri kepala, obat demam, obat sakit perut, obat maag, obat anti alergi, obat luka luar, obat luka bakar, obat anti septic, obat masuk angin, dan obat lain yang umum ditemukan di setiap sekolah, bentuk dan jenis obatnya pun beragam mulai berbentuk tablet, kapsul, kaplet, serbuk, cair, salep tergantung pada pemakaiannya.

OGB atau Obat Generik berlogo dalam pemakaiannya di setiap sekolah mempunyai peranan mengedukasi pemakai (orang sakit atau disebut juga os) dan pemberi OGB ini ke os yaitu anggota PMR itu sendiri, juga bisa menjadi acuan atau rekomendasi obat yang dapat dipakai os setelah keluar dari lingkungan sekolah dan sakitnya masih berlanjut pada saat di rumah. Bagaimana peranan mengedukasi pemakai dan pemberi OGB itu bisa terjadi? Jelas bahwa obat generik berlogo dalam suplai produknya dikemas tergantung jenis obatnya, bila kita perhatikan OGB itu selalu mencantumkan khasiat obat, bahan dasar obat, kontra indikasi, cara pemakaian, dan sering kali dicantumkan anjuran-anjuran setelah atau sebelum pemakaian obat tersebut dipakai oleh os. PMR sebagai bentuk pelayanannya mengelola UKS dan melayani os yang sebagian besar dari warga sekolah adalah siswa, bisa belajar memberikan obat kepada os dengan cara melihat kemasan dari OGB ini, anggota PMR yang dimaksudkan untuk dapat menjadi penyuluh teman sebayanya atau peer educator mengamalkan ilmunya terutama RSPS dengan cara melayani dan merawat siswa yang sakit dan memberikan informasi obat yang dipakainya tentang khasiat, cara pemakaiannya dan tindak lanjut setelah pemakaian obat.

Pihak sekolah dalam merencanakan pengelolaan fasilitas sekolah dalam hal ini adalah UKS, hendaknya memperhatikan kebutuhan akan obat-obatan yang sesuai dan bisa menghemat anggaran belanja sekolah. Tentunya sekolah akan merujuk pada pemakaian OGB dengan berbagai keuntungan sepeti hemat biaya karena harganya murah, dapat mengedukasi warga sekolah dari kemasan yang mencantumkan bahan, cara pemakaian, dan khasiat obat, distribusi atau suplai cepat karena mudah ditemukan dimana saja, adapun kontrol pemakaian obat tersebut lebih efektif dilakukan karena mempunyai isi dalam kemasan yang dapat membantu pemberi obat memperhitungkan waktu pemberian obat kepada os, misalnya siswa yang sakit pada saat jam pelajaran pertama (1 jam pelajaran = 45 menit, dimulai jam 07.00) yang pada hari itu mendapatkan dua belas jam pelajaran, anggota PMR yang bertugas merawat siswa sakit memberikan obat dengan melihat cara pemakaian obat di kemasan OGB itu tertera tiga kali sehari maka PMR  akan memberikan kembali obat tersebut pada jam pelajaran ke sembilan atau sepuluh (sekitar jam 13.00 atau setelah makan siang). Dari contoh tersebut maka sekolah dapat memperkirakan kebutuhan obat dari data rata-rata warga sekolah yang sakit perhari dengan kebutuhan obatnya yang diberikan.

Produsen OGB dapat menjalin kerjasama dengan pihak sekolah dalam suplai kebutuhan obat untuk fasilitas UKS. Dan bukan hanya dalam suplainya saja, tapi produsen OGB bisa memberikan pelatihan dan sosialisai dalam pemakaian atau pemberian obat kepada os lewat kader-kader yang ditunjuk pihak sekolah untuk mengelola UKS dan melayani warga sekolah yang sakit yaitu anggota PMR. Dan ini pula lah yang menjadikan PMR sebagi peer educator mengamalkan ilmu dari tujuh materi dasar salah satunya adalah Remaja Sehat Peduli Sesama (RSPS).

Jumat, 08 Maret 2013

lagu persahabatan : tidurlah adikku


tidurlah adikku...
 #Nathasya Chaerani
kupandang bibir merahmu
duhai sangat lucu..
kubelai pipi merahmu
duhai sangat lembut..


biarkan aku memelukmu
biarkan ku kecup keningmu
adikku sayangku pujaan hatiku..


pejamkanlah matamu
tidurlah adikku..
do’aku akan selalu menyertai tidurmu


pejamkanlah matamu
tidurlah adikku
mimpi indah lah selalu..
di sepanjang malammu

 ###########################################


lagu persahabatan : andai ku punya sayap


Lagu-lagu Persahabatan

Andaikan Ku Punya Sayap  c#Kevin
Satu,, satu,,
Daun,, daun,, berguguran
Tinggalkan tangkainya

Satu,, satu,,
Burung kecil.. berterbangan
Tinggalkan sarangnya

Jauh..jauh.. tinggi ke langit yang biru..

Andaikan aku punya sayap
Ku kan pergi jauh mengelilingi angkasa..
Kan ku ajak ayah bundaku
Terbang bersamaku
Melihat indahnya dunia...
        i

lagu persahabatan : hey..


Lagu-lagu Persahabatan

Hey... #Nathasya Chaerani

 Hey... janganlah bersedih
 Saat engkau sendiri dan hatimu sepi..

Hey... janganlah berduka
Lebih baik gembira bernyanyi bersama..

Coba lihat.. jauh diangkasa
Awan pun menari di atas pelangi
Dan lihatlah.. matahari pagi
Mengajakmu tertawa dan bercanda riang..
Agar kita.. suka cita..
 
Hey... akulah kawanmu...
Hapuslah air matamu..
Senyumlah padaku...










best moment : open house


The best moment
Open House


PMR emang ga ada matinye#cieee..J, ada aja yang dilakukan untuk dapat menarik perhatian orang, terutama  bagi para calon siswa  SMKN 9#PMR gitu lohhJ  tentunya hal ini sebagai bentuk sosialisai bahwa ekskul PMR eksis#wuaooww J selain itu ya berprestasi juga kalee...#citarum haha.. J

Yukk kita kepo...!!!
Tau ga seh loh apaan tu open house??? #imah dibukaan J open house acara taunan yang sering dilaksanakan oleh sekolah kita ini tujuannya untuk ngenalin jurusan yang ada, fasilitas sekolah, keahlian, budaya sekolah, dan salah satunya ngenalin ekskul untuk diikutin, pastinya dong PMR populernya#aapppaaahhhh??? Eh sueerr coba tanyakan pada rumput yang bergoyang#wallahh cape dech J
Nah di acara open house ini menjadi kesempatan kita untuk tonjok#tunjuk mas,, tunjuk woyy J keahlian & hasil karya barudak Pe,eM,eR dengan cara bikin stand pamerin media belajar kita, alat-alat PP, PK, poster-poster, foto-foto kegiatan, hasta karya, juga piala & piagam hasil dari prestasi kita#asyeek narsis neh J
Makanya dukung terus kita untuk selalu berkarya okeyy#siga pilkada kalimatnya J sekian dulu dari sayah, terima kasih yang sebesar-besarnya kepada tuhan yang maha esa #prok,,prok,,prokkk teu puguh J


Kamis, 07 Maret 2013

PMI


Sejarah Singkat PMI

Upaya pendirian organisasi Palang Merah Indonesia sudah dimulai semenjak sebelum Perang Dunia ke II oleh Dr. RCL Senduk dan Dr. Bahder Djohan, dimana sebelumnya telah ada organisasi palang merah di Indonesia yang bernama Nederlands Rode Kruis Afdeling Indie (NERKAI) yang didirikan oleh Belanda. Tetapi upaya – upaya ini masih ditentang oleh pemerintah kolonial Belanda dan Jepang.

Pada tahun 1945, setelah Indonesia merdeka, atas instruksi Presiden Soekarno maka dibentuklah badan Palang Merah Indonesia oleh Panitia 5 (lima), yaitu :
                                                Ketua             : Dr. R. Mochtar
                                                Penulis          : Dr. Bahder Djohan
                                                Anggota         : Dr. Djoehana
                                                                          Dr. Marzuki
                                                                          Dr. Sitanala

Sehingga pada tanggal 17 September 1945 tersusun Pengurus Besar PMI yang pertama yang dilantik oleh Wakil Presiden RI Moch. Hatta yang sekaligus beliau sebagai Ketuanya.

Keppres No. 25 Tahun 1950

Karena sejak dibentuk pada tahun 1945 hingga akhir tahun 1949 PMI ikut terjun dalam mempertahankan kemerdekaan RI sebagai alat perjuangan, yang karena tidak sempat melakukan penataan organisasi sebagaimana mestinya, pengesahan secara hukum baru dilakukan melalui Keputusan Presiden Republik Indonesia Serikat No. 25 Tahun 1950 yang dikeluarkan tanggal 16 Januari 1950. Yang menetapkan :
Mengesahkan Anggaran Dasar dari dan mengakui sebagai badan hukum Perhimpunan Palang Merah Indonesia, menunjuk Perhimpunan Palang Merah Indonesia sebagai satu satunya organisasi untuk menjalankan pekerjaan palang merah di Republik Indonesia Serikat menurut Conventie Geneve (1864,1906,1929,1949) 

( isi lengkap Keppres dapat dilihat di lampiran AD/ART PMI )

Penegasan tersebut bukanlah sekedar untuk memberikan landasan hukum PMI sebagai organisasi sosial tetapi juga mempunyai latar belakang pertimbangan dan tujuan yang bersifat Internasional sebagai hasil dari Perundingan Meja Bundar tanggal 27 Desember 1949.

Keppres No. 246 Tahun 1963

Pada 29 November 1963 pemerintah Republik Indonesia melalui Keputusan Presiden No. 246 Tahun 1963 yang melengkapi Keppres No. 25 Tahun 1950. Melalui Keppres ini pemerintah Republik Indonesia mengesahkan :
Tugas Pokok dan Kegiatan – Kegiatan Palang Merah Indonesia yang berazaskan Perikemanusiaan dan atas dasar sukarela dengan tidak membeda – bedakan bangsa, golongan dan faham politik

( isi lengkap Keppres dapat dilihat di lampiran AD/ART PMI )

Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART)

Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga adalah salah satu landasan hukum dari Perhimpunan Nasional Palang Merah dan Bulan Sabit Merah yang mengatur asas, tujuan, struktur internal organisasi, prosedur, hubungan dan kerjasama dengan berbagai komponen organisasi.

Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga merupakan konstitusi organisasi di dalam menjalankan visi dan misi organisasi. Sehingga menjadi suatu kewajiban bagi segenap komponen organisasi untuk memahami, menghayati dan mengamalkan ketentuan yang tercantum dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga sesuai dengan fungsi dan kedudukan masing – masing komponen dalam organisasi.

Anggaran Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Palang Merah Indonesia bersifat Nasional dan ditetapkan setiap 5 tahun sekali melalui mekanisme Musyawarah Nasional dengan memenuhi beberapa syarat, seperti yang tertera dalam AD/ART PMI.

Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga PMI disahkan pertama kali oleh pemerintah dengan Keputusan Presiden RIS No. 25 Tahun 1950. Walaupun telah disahkan oleh Pemerintah, namun AD/ART dapat disempurnakan oleh Musyawarah Nasional PMI.

Anggaran Rumah Tangga tidak boleh bertentangan dengan Anggaran Dasar dan merupakan penjabaran serta ketentuan lebih lanjut mengenai hal – hal yang belum diatur dalam Anggaran Dasar.

Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga PMI mengatur hal – hal sebagai berikut:
1.    Nama, waktu, status dan kedudukan
2.    Asas dan tujuan
3.    Prinsip dasar
4.    Lambang dan Lagu
5.    Pelindung
6.    Keanggotaan
7.    Susunan Organisasi
8.    Musyawarah dan Rapat
9.    Kepengurusan
10. Markas
11. Upaya Kesehatan Transfusi Darah
12. Hubungan dan Kerjasama
13. Perbendaharaan
14. Pembinaan
15. Pembekuan Pengurus
16. Penghargaan
17. Perubahan Anggaran Dasar / Anggaran Rumah Tangga

Sebagai lampiran juga terdapat :
1.    Lambang ( gambar & penjelasan )
2.    Lagu Hymne PMI dan Mars PMI (syair dan notasi nada )
3.    Salinan Keppres No. 25 Tahun 1950 dan Keppres No. 246 Tahun 1963
4.    Susunan Pengurus Pusat Palang Merah Indonesia Masa Bakti yang berlaku

Peraturan Pemerintah No. 18 Tahun 1980

PP No. 18 Tahun 1980 adalah keputusan pemerintah yang memberikan tugas khusus kepada Palang Merah Indonesia untuk menyelenggarakan Upaya Kesehatan Transfusi Darah (UKTD). 

Tugas ini dilaksanakan secara tersendiri, otonom dengan, bimbingan, pengawasan dan pembinaan, baik oleh jajaran Kepengurusan PMI maupun jajaran Departemen Kesehatan.

Kegiatan ini mencakup :
  • Pemilihan (seleksi) penyumbang darah
  • Penyadapan darah
  • Pengamanan darah
  • Penyimpanan darah
  • Penyampaian darah

Pengadaan darah dilakukan atas dasar ‘’ sukarela ‘’ tanpa maksud mencari keuntungan maupun menjadikan darah objek jual beli.

Hasil kegiatan UKTD PMI adalah darah yang sehat, aman dan tersedia tepat waktu. Disamping itu darah dapat diolah menjadi komponen – komponen darah yang dapat diberikan kepada pasien dengan tepat sesuai kebutuhan.

Donor Darah Sukarela (DDS) adalah donor darah yang memberikan darahnya dengan sukarela tanpa melihat sendiri atau mengetahui kepada siapa darah itu diberikan.
Donor Darah Pengganti (DDP) adalah donor darah yang darahnya diberikan untuk menolong saudaranya atau temannya yang sakit yang memerlukan darah.

Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 023/Birhub/1972

 

Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 023/Birhub/1972, PMI dapat menyelenggarakan Pertolongan Pertama maupun menyelenggarakan pendidikan Pertolongan Pertama serta dapat  mendirikan pos pertolongan pertama.

 

Peraturan ini menjadi dasar bagi Palang Merah Indonesia dalam menyebarluaskan ketrampilan Pertolongan Pertama baik bagi internal PMI maupun kepada eksternal PMI.

HPI




Hukum Perikemanusiaan Internasional


A. Sejarah HPI

Salah apabila kita mengatakan bahwa pendirian Palang Merah di tahun 1863 ataupun pengadopsian Konvensi Jenewa pertama tahun 1864 menandakan kelahiran hukum perikemanusiaan sebagaimana yang kita kenal saat ini. Sebagaimana tidak ada satu masyarakat yang tidak memiliki seperangkat aturan, begitu pula tidak pernah ada perang yang tidak memiliki aturan jelas maupun samar-samar yang mengatur tentang mulai dan berakhirnya suatu permusuhan, serta bagaimana perang itu dilaksanakan.

Pada awalnya ada aturan tidak tertulis berdasarkan kebiasaan yang mengatur tentang sengketa bersenjata. Kemudian perjanjian bilateral (kartel) yang kerincian aturannya berbeda-beda, lambat-laun mulai diberlakukan. Pihak-pihak yang bertikai kadangkala meratifikasinya setelah permusuhan berakhir. Ada pula peraturan yang dikeluarkan oleh negara kepada pasukannya (lihat “Kode Lieber”). Hukum yang saat itu ada terbatas pada waktu dan tempat, karena hanya berlaku pada satu pertempuran atau sengketa tertentu saja. Aturannya juga bervariasi, tergantung pada masa, tempat, moral dan keberadaban.

Dari sejak permulaan perang sampai pada munculnya hukum perikemanusiaan yang kontemporer, lebih dari 500 kartel, aturan bertindak (code of conduct), perjanjian dan tulisan-tulisan lain yang dirancang untuk mengatur tentang pertikaian telah dicatat. Termasuk di dalamnya Lieber Code, yang mulai berlaku pada bulan April 1863 dan memiliki nilai penting karena menandakan percobaan pertama untuk mengkodifikasi hukum dan kebiasaan perang yang ada. Namun, tidak seperti Kovensi Jenewa yang dibentuk setahun setelah itu, Lieber Code ini tidak memiliki status perjanjian sebagaimana yang dimaksudkannya karena hanya diberlakukan kepada tentara Union yang berperang pada waktu Perang Saudara di Amerika.

Ada dua pria memegang peran penting dalam pembentukan HPI selanjutnya, yaitu Henry Dunant dan Guillaume-Henri Dufour. Dunant memformulasikan gagasan tersebut dalam Kenangan dari Solferino (A Memory of Solferino), diterbitkan tahun 1862. Berdasarkan pengalamannya dalam perang, General Dufour tanpa membuang-buang waktu menyumbangkan dukungan moralnya, salah satunya dengan memimpin Konferensi Diplomatik tahun 1864.

Terhadap usulan dari kelima anggota pendiri ICRC, Pemerintah Swiss  mengadakan Konferensi Diplomatik tahun 1864, yang dihadiri oleh 16 negara yang mengadopsi Konvensi Jenewa untuk perbaikan keadaan yang luka dan sakit dalam angkatan bersenjata di medan pertempuran darat.

Definisi
Hukum Perikemanusiaan Internasional membentuk sebagian besar dari Hukum Internasional Publik dan terdiri dari peraturan yang melindungi orang yang tidak atau tidak lagi terlibat dalam persengketaan dan membatasi alat dan cara berperang di masa sengketa bersenjata.

Lebih tepatnya, yang dimaksud ICRC dengan hukum perikemanusiaan yang berlaku di masa sengketa bersenjata adalah semua ketentuan yang terdiri dari perjanjian dan kebiasaan internasional yang bermaksud untuk mengatasi segala masalah kemanusiaan yang timbul pada waktu pertikaian bersenjata internasional maupun non-internasional; hukum tersebut membatasi atas dasar kemanusiaan, hak-hak dari pihak yang terlibat dalam pertikaian untuk memilih cara-cara dan alat peperangan, serta memberikan perlindungan kepada orang yang menjadi korban maupun harta benda yang terkena dampak pertikaian bersenjata.

Kombatan hanya boleh menyerang target militer, wajib menghormati non-kombatan dan objek sipil dan menghindari penggunaan kekerasan yang berlebihan. Istilah hukum perikemanusiaan internasional, hukum humaniter, hukum sengketa bersenjata dan hukum perang dapat dikatakan sama pengertiannya. Organisasi internasional, perguruan tinggi dan bahkan Negara cenderung menggunakan istilah hukum perikemanusiaan internasional (atau hukum humaniter), sedangkan istilah hukum sengketa bersenjata dan hukum perang biasa digunakan oleh angkatan bersenjata. Palang Merah Indonesia sendiri menggunakan istilah Hukum Perikemanusiaan Internasional.

Hukum Jenewa dan Hukum Den Haag
Hukum Perikemanusiaan Internasional (HPI) – dikenal juga dengan nama hukum sengketa bersenjata atau hukum perang – memiliki dua cabang yang terpisah:
Hukum Jenewa, atau hukum humaniter, yaitu hukum yang dibentuk untuk melindungi personil militer yang tidak lagi terlibat dalam peperangan dan mereka yang tidak terlibat secara aktif dalam pertikaian, terutama penduduk sipil;
Hukum Den Haag, atau hukum perang, adalah hukum yang menentukan hak dan kewajiban pihak yang bertikai dalam melaksanakan operasi militer dan membatasi cara penyerangan.

Kedua cabang HPI ini tidaklah benar-benar terpisah, karena efek beberapa aturan dalam hukum Den Haag adalah melindungi korban sengketa, sementara efek dari beberapa aturan hukum Jenewa adalah membatasi tindakan yang diambil oleh pihak yang bertikai di masa perperangan. Dengan mengadopsi Protokol Tambahan 1977 yang mengkombinasikan kedua cabang HPI, pembedaan di atas kini tinggal memiliki nilai sejarah dan pendidikan.

Prinsip
Hukum perikemanusiaan didasarkan pada prinsip pembedaan antara kombatan dan non-kombatan serta antara objek sipil dan objek militer. Prinsip necessity atau kepentingan kemanusiaan dan militer, perlunya menjaga keseimbangan antara kepentingan kemanusiaan di satu pihak dengan kebutuhan militer dan keamanan di pihak lain. Prinsip pencegahan penderitaan yang tidak perlu (unecessary suffering), yaitu hak pihak yang bertikai untuk memilih cara dan alat untuk berperang tidaklah tak terbatas, dan para pihak tidak diperbolehkan mengakibatkan penderitaan dan kehancuran secara melampaui batas serta  tidak seimbang dengan tujuan yang hendak dicapai, yaitu melemahkan atau menghancurkan potensi militer lawan. Prinsip proporsionalitas,  mencoba untuk menjaga keseimbangan antara dua kepentingan yang berbeda, kepentingan yang berdasarkan pertimbangan atas kebutuhan militer, dan yang lainnya berdasarkan tuntutan kemanusiaan, apabila hak atau larangannya tidak mutlak.

Aturan Dasar
ICRC telah memformulasikan tujuh aturan yang mencakup inti dari hukum perikemanusian internasional. Aturan-aturan ini tidak memiliki kekuatan hukum seperti sebuah perangkat hukum internasional dan tidak dimaksudkan untuk menggantikan perjanjian-perjanjian yang berlaku.

1. Orang yang tidak atau tidak dapat lagi mengambil bagian dalam pertikaian patut memperoleh penghormatan atas hidupnya, atas keutuhan harga diri dan fisiknya. Dalam setiap kondisi, mereka harus dilidungi dan diperlakukan secara manusiawi, tanpa pembedaan berdasarkan apa pun.

2. Dilarang untuk membunuh atau melukai lawan yang menyerah atau yang tidak dapat lagi ikut serta dalam pertempuran.

3. Mereka yang terluka dan yang sakit harus dikumpulkan dan dirawat oleh pihak bertikai yang menguasai mereka. Personil medis, sarana medis, transportasi medis dan peralatan medis harus dilindungi. Lambang palang merah atau bulan sabit merah di atas dasar putih adalah tanda perlindungan atas personil dan objek tersebut di atas, dan harus dihormati.

4. Kombatan dan penduduk sipil yang berada di bawah penguasaan pihak lawan berhak untuk memperoleh penghormatan atas hidup, harga diri, hak pribadi, keyakinan politik, agama dan keyakinan lainnya. Mereka harus dilindungi dari segala bentuk kekerasan ataupun balas dendam. Mereka berhak berkomunikasi dengan keluarganya serta berhak menerima bantuan.

5. Setiap orang berhak atas jaminan peradilan dan tak seorangpun dapat dituntut untuk bertanggungjawab atas suatu tindakan yang tidak dilakukannya. Tidak seorangpun dapat dijadikan sasaran penyiksaan fisik maupun mental atau hukuman badan yang kejam yang merendahkan martabat ataupun perlakuan lainnya.

6. Tidak satu pun pihak bertikai maupun anggota angkatan bersenjatanya mempunyai hak tak terbatas untuk memilih cara dan alat berperang. Dilarang untuk menggunakan alat dan cara berperang yang berpotensi mengakibatkan penderitaan dan kerugian yang tak perlu.

7. Pihak bertikai harus selalu membedakan antara penduduk sipil dan kombatan dalam rangka melindungi penduduk sipil dan hak milik mereka. Penduduk sipil, baik secara keseluruhan maupun perseorangan tidak boleh diserang. Penyerangan hanya boleh dilakukan semata-mata kepada objek militer.

Konvensi Jenewa
Konvensi Jenewa 1864 meletakkan dasar-dasar bagi hukum perikemanusiaan modern. Karakter utamanya adalah:
>  aturan tertulis yang memiliki jangkauan internasional untuk melindungi korban   sengketa;
>  sifatnya multilateral, terbuka untuk semua negara;
>  adanya kewajiban untuk melakukan perawatan tanpa diskriminasi kepada personil militer yang terluka dan sakit;
>  penghormatan dan pemberian tanda kepada personil medis, transportasi dan perlengkapannya menggunakan sebuah lambang (palang merah di atas dasar putih).

Diawali dengan Konvensi Jenewa pertama tahun 1864, hukum perikemanusiaan modern berkembang dalam berbagai tahap, seringkali setelah sebuah kejadian di mana konvensi tersebut dibutuhkan, untuk memenuhi kebutuhan akan bantuan kemanusiaan yang terus berkembang sebagai akibat dari perkembangan dalam persenjataan serta jenis-jenis sengketa.

Perang Dunia I (1914-1918) menyaksikan penggunaan cara perang yang, (kalau tidak dapat dikatakan baru) dilakukan dalam skala yang tidak dikenal sebelumnya. Termasuk di dalamnya gas beracun, pemboman dari udara, dan penangkapan ratusan tawanan perang. Perjanjian di tahun 1925 dan 1929 merupakan tanggapan dari perkembangan ini.
Perang Dunia II (1939-1945) menyaksikan penduduk sipil dan personil militer tewas dalam jumlah yang seimbang, berbeda dengan saat Perang Dunia I, di mana perbandingannya adalah 1:10. Tahun 1949 masyarakat internasional bereaksi terhadap angka yang tragis tersebut, terlebih lagi terhadap efek buruk yang menimpa penduduk sipil, dengan merevisi Konvensi yang saat itu sedang berlaku dan mengadopsi perangkat hukum lain: Konvensi Jenewa ke-4 tentang perlindungan terhadap penduduk sipil. Belakangan di tahun 1977, Protokol Tambahan merupakan tanggapan atas efek kemanusiaan dalam perang kemerdekaan nasional, yang hanya diatur sebagian di dalam Konvensi 1949.

Keempat Konvensi Jenewa menegaskan penghormatan yang harus diberikan kepada setiap pribadi pada masa sengketa bersenjata. Keempat Konvensi tersebut adalah:
I    Perbaikan keadaan yang luka dan sakit dalam angkatan bersenjata di medan   pertempuran darat
II  Perbaikan keadaan anggota angkatan bersenjata di laut yang luka, sakit dan korban karam
III Perlakuan tawanan perang
IV  Perlindungan penduduk sipil di waktu perang


Protokol Tambahan 1977
Protokol Tambahan merupakan tanggapan atas efek kemanusiaan dalam perang kemerdekaan nasional, yang hanya diatur sebagian di dalam Konvensi 1949. Dua protokol tambahan diadopsi, yang menguatkan perlindungan terhadap korban sengketa internasional (protokol I) dan sengketa non-internasional (protokol II). Konvensi Jenewa 1949 dan Protokol Tambahan 1977 terdiri hampir 600 pasal dan merupakan perangkat utama hukum perikemanusiaan internasional. Hanya sebuah negara yang dapat menjadi peserta perjanjian internasional, begitu pula untuk menjadi peserta Konvensi Jenewa dan Protokol Tambahannya. Di tahun 2002 hampir semua negara di dunia – 190 tepatnya – menjadi peserta Konvensi Jenewa. Fakta bahwa perjanjian ini merupakan salah satu yang diterima di sejumlah besar negara membuktikan kesemestaannya. Sedangkan mengenai Protokol Tambahannya, 157 negara menjadi peserta Protokol I dan 150 peserta Protokol II.

HPI dan HAM
Hukum perikemanusiaan internasional dan hukum hak asasi manusia internasional (selanjutnya disebut hukum HAM) saling melengkapi. Keduanya bermaksud untuk melindungi individu, walaupun dilaksanakan dalam situasi dan cara yang berbeda. HPI berlaku dalam situasi sengketa bersenjata, sedangkan hukum HAM atau setidaknya sebagian daripadanya, melindungi individu di setiap saat, dalam masa perang maupun damai. Tujuan dari HPI adalah melindungi korban dengan berusaha membatasi penderitaan yang diakibatkan oleh perang, hukum HAM bertujuan untuk melindungi individu dan menjamin perkembangannya.
Kepedulian utama HPI adalah mengenai perlakuan terhadap individu yang jatuh ke tangan pihak lawan dan mengenai metode peperangan, sedangkan hukum HAM pada intinya mencegah perlakuan semena-mena dengan membatasi kekuasaan negara atas  individu. Hukum HAM tidak bertujuan untuk mengatur bagaimana suatu operasi militer dilaksanakan. Untuk memastikan penghormatannya, HPI membentuk suatu mekanisme yang mengadakan sebuah bentuk pengawasan terus-menerus atas pelaksanaannya; mekanisme itu memberi penekanan pada kerjasama antara para pihak yang bersengketa dengan penengah yang netral, dengan tujuan untuk mencegah pelanggaran. Sebagai konsekwensinya, pendekatan ICRC yang perannya menjamin penghormatan terhadap HPI memberikan prioritas pada persuasi.

Mekanisme untuk memonitor hukum HAM sangat bevariasi. Dalam banyak kasus, lembaga yang berwenang dituntut untuk menentukan apakan sebuah negara telah menghormati hukum. Contohnya, Mahkamah HAM Eropa, setelah penyelesaian pendahuluan oleh seseorang, dapat menyatakan bahwa Konvensi HAM Eropa telah dilanggar oleh penguasa negara. Penguasa ini selanjutnya wajib untuk mengambil langkah yang perlu untuk memastikan bahwa situasi internal itu sesuai dengan persyaratan yang diminta oleh Konvensi. Mekanisme pelaksanaan HAM pada intinya bermaksud untuk meluruskan segala kerusakan yang terjadi.






Referensi

1.                Direktorat Jenderal Hukum Perundang-undangan Departemen Kehakiman, 1999, Terjemahan Konvensi Jenewa tahun 1949, Departemen Hukum dan Perundang-undangan, Jakarta.
2.                International Committee of the Red Cross, 1994, Handbook of the International Red Cross and Red Crescent Movement, ICRC & Federation, Geneva.
3.                International Committee of the Red Cross,1999, Pengantar Hukum Humaniter, ICRC, Jakarta.
4.                International Committee of the Red Cross, 2002, International Humanitarian Law, Answer to Your Question, ICRC, Geneva.
5.                ICRC, Film ‘Fighting by the Rules’ ,  ICRC, Geneva